air terjun NDOLO - Kediri - Jawa Timur

Minggu, 28 Februari 2010

Pesan Eyang Sabdopalon (Dang Hyang Nirartha)

10 (sepuluh) pesan dari Eyang Sabdopalon ( Dang Hyang Nirartha ) sbb:
Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )
Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.

Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )
Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.

Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )
Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.

Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )
Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.

Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya. (bait 11)
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.

Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. (bait 12)
Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.

Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang.(bait 13)
Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.

Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang. (bait 14)
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.

Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. (bait 15)
Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.

Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )
Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.

Akhirnya bapak Tri Budi Marhaen Darmawan mengungkapkan bahwa dengan penelusuran secara spiritual dapatlah disimpulkan :
“Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha / Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh / Tuan Semeru.
Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah terjadi dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab persoalan ini. Sangat sensitif… Ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskitho, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya.
Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Tidak perlu banyak perdebatan, karena Sabdo Palon yang telah menitis kepada “seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik “seseorang” itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau Dang Hyang Nirartha.

“Kesimpulan akhirnya adalah : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur Nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu beliau yang dinamakan “SATRIO PININGIT”. Jadi, Satrio Piningit (SP) = adalah seorang Satrio Pinandhito (SP) = yaitulah Sabdo Palon (SP) = sebagai Sang Pamomong (SP) = dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP) = pemegang pusaka Sabdo Palon (SP) = berada di “SP” (?) = tepatnya di daerah “SP” (?) = dimana terdapat “SP” (?) = dengan nama “SP” dan “SP” (?) . Satrio Piningit tidak akan sekedar mengaku-aku bahwa dirinya adalah seorang Satrio Piningit. Namun beliau akan “membuktikan” banyak hal yang sangat fenomenal untuk kemaslahatan rakyat negeri ini. Kapan waktunya ? Hanya Allah SWT yang tahu. Subhanallah… Masya Allah la quwata illa billah…”

Dari apa yang telah diungkapkan sejauh ini, mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga Allah ridho.


Sabdopalon merupakan metafora dan sekaligus kasunyatan di wilayah khasful hijab. Bertenggernya bangsa besar Nusantara yang dulu orang Arab lama menyebut sebagai Jaziratul Jawi, Yunani jauh-jauh hari menyebut dengan Zabaja, Nabi Sulaiman AS menyebut istrinya yang dari Jawa dengan Ratu Seba. Nuh yang membangun bahtera sebab bangsa makmur dan majunya mengalami dekadensi moral besar-besaran sehingga lelehan es membuat luapan air laut melebur dan menenggelamkan bangsanya, Plato kemudian hari bilang itu Atlantis. Bangsa yang sangat tidak terima bila ditunjuk atau bahkan disentuh dahinya sebab itu taruhannya nyawa, bangsa yang rela mati demi membela harkat dan martabat sehingga bangsa Portugis kehilangan cara menaklukan. Bangsa yang tidak pernah masuk dalam daftar perbudakan bangsa Arab, sebab orang Arab akan mengembalikan budaknya yang diketahui sebagai orang Jawa, bangsa yang menjadi pioneer dunia bahari dengan teknolohi bahteranya yang hebat sehingga sudah menjelajah hingga ke India, Arab, Madagskar, Tahiti, Fiji, Hawai, dan Peru. Bangsa yang tidak pernah bisa dikalahkan dengan peperangan, bangsa yang sangat sportif, hingga akhirnya dikalahkan dengan tipu daya oleh para pedagang. Bangsa yang selanjutnya menjadi tidak percaya diri sama sekali, malah belajar kelicikan, keculasan, dll.

Sama sekali lupa Bangsa Jawa yang sudah sangat tua, dan pernah sangat berkarisma dimata bangsa lain. Setiap kali bertengger di dahan kekuasaan di pohon peradaban mudah dilihat dengan penuh takzim oleh bangsa-bangsa lain, karena besar dan anggunnya. Bangsa besar ini bagai Garuda yang terbangnya sangat tenang dan berkarisma di Angkasa.

Brawijaya V tidak kehilangan pegangan spritualnya, beliau ini kehilangan rakyatnya. Beliau merupakan salah satu alasan bahwa Islam berkembang pesat di Jawa, sebab beliau mengijinkan pembangunan ajaran Islam hingga sarana pendidikan Islam di seputaran pesisir Jawa. Bahkan beliau beristrikan seorang putri Campa yang beragama Islam. Sedangkan Jimbun yang kemdian dikenal sebagai Raden Patah adalah anaknya yang terlahir dari seorang putri peersembahan dari kekaisaran China. Bangsa Jawa sudah menjadi bangsa yang mayor dan sangat legendaris di kalangan peradaban manusia. Jawa di sini bukanlah Jawa yang satu pulau di wilayah Indonesia, namun juga mencakup Sumatra, Malaka, Kalimantan, Philipina, Sulawesi, dll. Itulah yang disebut Jaziratul Jawi, sehingga aksara Arab pegon oleh orang Arab disebut sebagai Arab Jawi meskipun faktanya lebih sering digunakan oleh bangsa Melayu. Masyarakat beranggapan bahwa semua hal dari Asia adalah Jawa. Brawijaya V merupakan Raja yang adil dan penuh kasih sayang, dia sangat terpukul ketika mendapatkan kenyataan serangan dari anaknya sendiri. Jiwa ksatrianya sudah mendidih dan hendak mengerahkan pasukan dari Bali, namun berhasil diredam oleh Sunan Kalijaga yang sangat mahir berdiplomasi dengan tata kesantunan luar biasa.

Akhirnya Brawijaya V beralih menjadi Islam. Tapi sabdopalon menganggap bahwa masuknya momongannya ke dalam agama Islam adalah merupakan sikap kekalahan politik yang gegabah. Bagi sabdo palon noyo genggong, sikap seorang manusia yang menjalankan wilayah keamanan sudah cukup baik meskipun dia adalah Hindu, Budha, atau yang lain. Sebab menjalankan ranah keamanan sosial sudah menjadi Mukmin yang berarti juga berperan mengamankan. Sedangkan Islam atau Muslim adalah kelengkapan selanjutnya untuk menyempurnakan manusianya. Sebagai manusia Brawijaya dianggap sudah bagus. Jadi bila dia masuk Islam dengan frame berpikir yang tiba-tiba baru, Brawijaya menjadi kehilangan banyak hal yang bersifat esensi.

Sabdo palon sangat menyadari, bila Islam dijalankan dengan benar berlandaskan Budi dan Darma maka akan menjadi manusia Paripurna, jadi untuk masuk Islam tidak bisa grusah-grusuh atau gegabah. Dengan sikap gegabah maka Islam hanya akan diterjemahkan menjadi wadag (hanya tau kulitnya saja) dan akhirnya manusia sudah akan merasa aman dengan embel-embel ke-Islam-annya. Islam yang seperti ini hanya Islam wadag (istilahnya Islam KTP) , yang permisif dan kompromis terhadap kemudaratan, dan akan menghilangkan Budi, menyingkirkan Darma.

Bertolak dari situ, akhirnya Sabdopalon Noyo Genggong merasa dimundurkan ke peradaban bayi, bayangan kerusakan sudah terpampang di depan mata. Ukuran untuk kembali menjadi manusia yang berbudi dan mempunyai darma (sumbangsih kemaslahatan) adalah 500 tahun kemudian (takaran maksimal untuk menjadi bangsa yang kembali dewasa). 500 tahun mulai pada peristiwa itu adalah proses pengenalan Islam secara komprehensif, dan dibutuhkan pengorbanan waktu yang panjang, sebab ajaran ini harus juga menjadi esensi bukan menjadi wadag atau sekedar formalitas.

Orang Jawa dalam hal spritulaitas ini memiliki tradisi sejarah sangat panjang akan keseriusannya terhadap ajaran luhur dan kemuliaan. Sabdopalon tidak menolak Islam, Sabdopalon mencoba realistis, apakah orang Jawa sudah siap dengan Islam? karena Islam adalah ajaran yang sempurna. Sesempurna apa ketangguhan orang Jawa terukur dari 500 tahun peristiwa sejarah selanjutnya. Cukup 500 tahun! sebab bila tidak mampu menggunakan akalnya dalam memahami keterpurukannya maka bencana lebih besar tidak lagi mau menunggu.
Bencana itu akan mereduksi peradaban hingga kalau perlu hilang dengan geliat alam dan fenomena multikompleks, bila hanya manusianya hanya manusia sia-sia. Namun bila segera beranjak bangkit maka memang segala kesalahan yang mengakibatkan kerusakan menjadi pelajaran guna menata pembangunan manusia, bukan hanya Jawa, bukan hanya Nusantara, melainkan Dunia.

Jawa-lah yang mampu dengan sangat indah memasukkan Islam menjadi sektor budaya, dan Jawa juga yang akan memimpin kembali tampuk peradaban dunia bila bisa menjalankan kembali Budi dan Darma. Jangan merasa aman menjadi Islam bila hanya beragama Islam, sebab ketidakseriusan terhadap Islam akan menjadi bumerang yang merusak sendi dan pilar keseimbangan. Jangan menjadi Islam yang tidak mampu membuat aman di wilayah sosial, jangan menjadi Islam kalau perbuatannya malahan menghina Islam dengan kepentingan duniawi. Pasti Gusti Allah tidak akan Ridho. Segera temukan keridhoan Allah untuk bangsa besar ini. Waktu sudah tidak punya toleransi lagi, atau akan ketinggalan dan terkena bendu dari mekanisme keseimbangan alam.

Semar dalam gambar kaligrafi jawa bermakna :

Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa.

Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : “dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.

Semar bertubuh tambun: melukiskan keluasan hatinya.

Ati segoro, begitu kata orang Jawa: hati bagai samudera. Makin luas hatinya berarti makin halus pula rasa-nya. Dalam literatur Jawa, rasa adalah inti terdalam manusia, kebenaran tertinggi. Makin halus rasanya, berarti makin dekat orang itu pada inti kebenaran, makin tinggi tingkat spiritual-nya. Dan makin halus rasa seseorang, dia akan menjadi makin momot, makin luas ruang hatinya, sehingga bagai samudera yang bisa menampung ribuan sungai yang mengalir kepadanya tanpa menjadi penuh maupun kotor.

Sebaliknya makin kasar rasa seseorang, makin rendah tingkat spiritual-nya, makin kaku sikapnya, dan makin sulit menerima pandangan yang berbeda, tidak bisa hidup tenteram dengan kelompok lain, mau menang sendiri… dan ugal-ugalan.
Lebih celaka lagi, dengan mengatas-namakan agama dan Tuhan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar